Kamis, 24 Januari 2013

Contoh Kasus Sosial Dasar Pada Penduduk Masyarakat & Kebudayaan


Rambu Solo’ Pemakaman Adat Tana Toraja
        Siapa yang tak kenal dengan Tana Toraja, negeri dengan begitu banyak adat istiadat dan tempat tujuan wisata yang sangat indah. Tana Toraja, berjarak 300 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan, menyimpan berbagai macam adat dan budaya leluhur yang diwariskan oleh nenek moyang mereka dan tetap lestari hingga kini. Setiap keturunan suku Toraja, di manapun berada, wajib menjunjung tinggi akar budaya nenek moyang mereka. Hingga kini, anak cucu keturunan suku Tana Toraja yang berada di luar negeri dan berbagai wilayah di Indonesia, akan tetap melakukan tradisi yang sama yang dilakukan oleh nenek moyang mereka ribuan tahun yang lalu. Ketaatan mereka dalam menjalankan adat istiadat dan budaya peninggalan nenek moyang mereka hingga kini, menarik banyak wisatawan asing dan dalam negeri untuk mengunjungi Tana Toraja setiap tahunnya. Tana Toraja, kini menjadi salah satu daerah wisata andalan yang dimiliki oleh Sulawesi Selatan. Berbagai upacara adat yang dimiliki oleh Tana Toraja dan diselenggarakan setiap tahun, menjadi magnet tersendiri bagi wisatawan asing.
        Ada berbagai upacara adat di Tana Toraja, salah satunya adalah Rambu Solo, upacara pemakaman leluhur yang telah meninggal beberapa tahun sebelumnya. Acaranya terdiri dari Sapu Randanan, dan Tombi Saratu’. Selain itu, dikenal juga upacara Ma’nene’ dan upacara Rambu Tuka’. Upacara Rambu Tuka’ dan Rambu Solo’ diiringi dengan seni tari dan musik khas Toraja selama berhari-hari. Rambu Tuka’ adalah upacara memasuki rumah adat baru yang disebut Tongkonan atau rumah yang selesai direnovasi satu kali dalam 50 atau 60 tahun. Upacara ini dikenal juga dengan nama Ma’Bua’, Meroek, atau Mangrara Banua Sura’.
        Sementara itu, Rambu Solo’ sepintas seperti pesta besar. Padahal, merupakan prosesi pemakaman. Dalam adat Tana Toraja, keluarga yang ditinggal wajib menggelar pesta sebagai tanda penghormatan terakhir kepada yang telah meninggal. Orang yang meninggal dianggap sebagai orang sakit sehingga harus dirawat dan diperlakukan layaknya orang hidup, seperti menemaninya, menyediakan makanan, dan minuman, serta rokok atau sirih. Tidak hanya ritual adat yang dijumpai dalam upacara Rambu Solo’. Berbagai kegiatan budaya menarik pun ikut dipertontonkan, antara lain Mapasilaga Tedong (adu kerbau) dan Sisemba (adu kaki). Rambu Solo’ akan semakin meriah jika yang meninggal adalah keturunan raja atau orang kaya. Jumlah kerbau dan babi yang disembelih menjadi ukuran tingkat kekayaan dan derajat mereka saat masih hidup. Di Rantepao, Anda bisa menyaksikan upacara Rambu Solo yang meriah.
        Pembangunan makan bagi keluarga yang meninggal dan penyelenggaraan Rambu Solo’ biasanya menelan dana ratusa juta rupiah hingga miliaran. Tak heran, karena banyak sekali ritual adat yang harus mereka jalankan dalam prosesi pemakaman tersebut. Salah satu Rambu Solo’ yang besar, berlangsung hingga tujuh hari lamanya. Yang seperti itu disebut Dipapitung Bongi. Hewan yang harus dipotong saja tak kurang dari 150 ekor, yang terdiri dari kerbau dan babi. Dagingnya akan mereka bagikan kepada penduduk desa sekitar yang membantu proses Rambu Solo’.
        Upacara yang menyedot perhatian turis asing dan wisatawan lokal adalah  adu kerbau atau yang biasa disebut Mapasilaga Tedong. Sebelum diadu, dilakukan parade kerbau terlebih dahulu. Kerbau adalah hewan yang dianggap suci bagi suku Toraja. Yang bule atau albino harganya akan sangat mahal, mencapai ratusan juta rupiah. Ada pula kerbau yang memiliki bercak-bercak hitam di punggung yang disebut salepo dan hitam di punggung (lontong boke).
        Prosesi pemotongan kerbau ala Toraja, Ma’tinggoro tedong adalah kegiatan selanjutnya, yaitu menebas kerbau dengan parang dan hanya dengan sekali tebas. Semakin sore, pesta adu kerbau semakin ramai karena yang diadu adalah kerbau jantan yang sudah memiliki pengalaman berkelahi puluhan kali. Rambu Solo’ mencerminkan kehidupan masyarakat Tana Toraja yang suka gotong-royong, tolong-menolong, kekeluargaan, memiliki strata sosial, dan menghormati orang tua. Mengenai adu kerbau, ia mengakui di satu sisi menjadi daya tarik pariwisata, namun di sisi lain banyaknya kerbau, terutama kerbau bule (Tedong Bonga), yang dipotong akan mempercepat punahnya kerbau. Apalagi, konon Tedong Bonga termasuk kelompok kerbau lumpur (Bubalus bubalis) yang merupakan spesies yang hanya terdapat di Toraja. (Kredit Foto: torajacybernews.com)
Sumber                        : http://www.jalanjalanyuk.com/rambu-solo%E2%80%99-pemakaman-adat-tana-toraja

Contoh Kasus Sosial Dasar di Masyarakat & Warga Pedesaan



KEHIDUPAN KEBUDAYAAN MASYARAKAT SUKU BADUY DI BANTEN

Orang Kanekes atau orang Baduy adalah suatu kelompok masyarakat adat Sunda di wilayah Kabupaten Lebak, Banten. Sebutan "Baduy" merupakan sebutan yang diberikan oleh penduduk luar kepada kelompok masyarakat tersebut, berawal dari sebutan para peneliti Belanda yang agaknya mempersamakan mereka dengan kelompok Arab Badawi yang merupakan masyarakat yang berpindah-pindah (nomaden). Kemungkinan lain adalah karena adanya Sungai Baduy dan Gunung Baduy yang ada di bagian utara dari wilayah tersebut. Mereka sendiri lebih suka menyebut diri sebagai urang Kanekes atau "orang Kanekes" sesuai dengan nama wilayah mereka, atau sebutan yang mengacu kepada nama kampung mereka seperti Urang Cibeo
Wilayah kanekes bermukim tepat di kaki pegunungan Kendeng di desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak-Rangkasbitung, Banten, berjarak sekitar 40 km dari kota Rangkasbitung. Tidak heran bahasa yang mereka gunakan adalah bahasa sunda dialek Sunda-Banten. Namun mereka juga lancar menggunakan Bahasa Indonesia ketika berdialog dengan penduduk luar. Suku Baduy sendiri terbagi menjadi tiga kelompok yaitu tangtu, panamping, dan dangka (Permana, 2001). Kelompok tangtu adalah kelompok yang dikenal sebagai Baduy Dalam. Yaitu kelompok Baduy yang paling ketat mengikuti adat mereka. Terdapat tiga kampung pada kelompok Baduy dalam yaitu: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Ciri khas orang Baduy Dalam adalah mereka mengenakan pakaian yang berwarna putih alami dan biru tua serta mengenakan ikat kepala putih. Kelompok yang kedua adalah Baduy Luar atau dikenal sebagai kelompok masyarakat panamping. Yang berciri mengenakan pakaian dan ikat kepala berwarna hitam. Dan tersebar mengelilingi wilayah Baduy Dalam seperti Cikadu, Kaduketuk, Kadukolot, Gajeboh, Cisagu, dan lain sebagainya. Lain halnya kelompok ketiga disebut dengan Baduy Dangka, mereka tinggal di luar wilayah Kanekes tidak seperti Baduy Dalam dan Luar. dan saat ini hanya 2 kampung yang tersisa yaitu Padawaras (Cibengkung) dan Sirahdayeuh (Cihandam).
Kepercayaan Suku Baduy atau masyarakat kanekes sendiri sering disebut dengan Sunda Wiwitan yang berdasarkan pada pemujaan nenek moyang (animisme), namun semakin berkembang dan dipengaruhi oleh agama lainnya seperti agama Islam, Budha dan Hindu. Namun inti dari kepercayaan itu sendiri ditunjukkan dengan ketentuan adat yang mutlak dengan adanya “pikukuh” ( kepatuhan) dengan konsep tidak ada perubahan sesedikit mungkin atau tanpa perubahan apapun. Objek kepercayaan terpenting bagi masyarakat Kanekes adalah Arca Domas, yang lokasinya dirahasiakan dan dianggap paling sakral. masyarakatnya mengunjungi lokasi tersebut dan melakukan pemujaan setahun sekali pada bulan kalima. Hanya ketua adat tertinggi puun dan rombongannya yang terpilih saja yang dapat mengikuti rombongan tersebut. Di daerah arca tersebut terdapat batu lumping yang dipercaya apa bila saat pemujaan batu tersebut terlihat penuh maka pertanda hujan akan banyak turun dan panen akan berhasil, dan begitu juga sebaliknya, jika kering atau berair keruh pertanda akan terjadi kegagalan pada panen. 
Mata pencaharian masyarakat Baduy adalah bertani dan menjual buah-buahan yang mereka dapatkan dari hutan. Selain itu Sebagai tanda kepatuhan/pengakuan kepada penguasa, masyarakat Kanekes secara rutin melaksanakan seba yang masih rutin diadakan setahun sekali dengan mengantarkan hasil bumi kepada penguasa setempat yaitu Gubernur Banten. Dari hal tersebut terciptanya interaksi yang erat antara masyarakat Baduy dan penduduk luar. Ketika pekerjaan mereka diladang tidak mencukupi, orang Baduy biasanya berkelana ke kota besar sekitar wilayah mereka dengan berjalan kaki, umumnya mereka berangkat dengan jumlah yang kecil antara 3 sampai 5 orang untuk mejual madu dan kerajinan tangan mereka untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Perdagangan yang semula hanya dilakukan dengan barter kini sudah menggunakan mata uang rupiah. Orang baduy menjual hasil pertaniannya dan buah-buahan melalui para tengkulak. Mereka juga membeli kebutuhan hidup yang tidak diproduksi sendiri di pasar. Pasar bagi orang Kanekes terletak di luar wilayah Kanekes seperti pasar Kroya, Cibengkung, dan Ciboleger.

BADUY BUKAN SUKU TERASING
Provinsi Banten memiliki masyarakat tradisional yang masih memegang teguh adat tradisi yaitu Suku Baduy yang tinggal di Desa Kanekes Kecamatan Leuwidamar Kabupaten Lebak. Perkampungan masyarakat Baduy pada umumnya terletak pada daerah aliran sungai Ciujung di Pegunungan Kendeng – Banten Selatan. Letaknya sekitar 172 km sebelah barat ibukota Jakarta; sekitar 65 km sebelah selatan ibukota Provinsi Banten. Masyarakat Baduy yang menempati areal 5.108 ha (desa terluas di Provinsi Banten) ini mengasingkan diri dari dunia luar dan dengan sengaja menolak (tidak terpengaruh) oleh masyarakat lainnya, dengan cara menjadikan daerahnya sebagai tempat suci (di Penembahan Arca Domas) dan keramat. Namun intensitas komunikasi mereka tidak terbatas, yang terjalin harmonis dengan masyarakat luar, melalui kunjungan.
Dalam memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, masyarakat yang memiliki konsep inti kesederhanaan ini belum pernah mengharapkan bantuan dari luar. Mereka mampu secara mandiri dengan cara bercocok tanam dan berladang (ngahuma), menjual hasil kerajinan tangan khas Baduy, seperti Koja dan Jarog (tas yang terbuat dari kulit kayu Teureup); tenunan berupa selendang, baju, celana, ikat kepala, sarung serta golok/parang, juga berburu. Masyarakat Baduy bagaikan sebuah negara yang tatanan hidupnya diatur oleh hukum adat yang sangat kuat. Semua kewenangan yang berlandaskan kebijaksanaan dan keadilan berada di tangan pimpinan tertinggi, yaitu Puun. Puun bertugas sebagai pengendali hukum adat dan tatanan hidup masyarakat yang dalam menjalankan tugasnya itu dibantu juga oleh beberapa tokoh adat lainnya. Sebagai tanda setia kepada Pemerintahan RI, setiap akhir tahun suku yang berjumlah 7.512 jiwa dan tersebar dalam 67 kampung ini mengadakan upacara Seba kepada “Bapak Gede” (Panggilan Kepada Bupati Lebak) dan Camat Leuwidamar.
Pemukiman masyarakat Baduy berada di daerah perbukitan. Tempat yang paling rendah berada pada ketinggian 800 meter di atas permukaan laut. Sehingga dapat dibayangkan bahwa rimba raya di sekitar pegunungan Kendeng merupakan kawasan yang kaya akan sumber mata air yang masih bebas polusi. Lokasi yang dijadikan pemukiman pada umumnya berada di lereng gunung, celah bukit serta lembah yang ditumbuhi pohon-pohon besar, yang dekat dengan sumber mata air. Semak belukar yang hijau disekitarnya turut mewarnai keindahan serta kesejukan suasana yang tenang. Keheningan dan kedamaian kehidupan yang bersahaja.

Referensi:

Contoh Kasus Sosial Dasar di Kalangan Mahasiswa


Tawuran di Universitas Hasanuddin, Antara Mahasiswa Fakultas Teknik dan Mahasiswa Fakultas Sosial Dan Politik

        REPUBLIKA.CO.ID, MAKASSAR – Tawuran mahasiswa kembali terjadi di Universitas Hasanuddin (Unhas) antara Fakultas Teknik dengan Fakultas Ilmu Sosial dan Politik (Fisip) di Makasar, Sulawesi Selatan, Senin (12/9).
Dalam aksi sekitar pukul 13.30 WITA, mahasiswa dua fakultas ini saling kejar dan serang mengunakan batu juga balok kayu. Bentrok berlangsung sekitar satu jam. Tidak ada korban jiwa dalam kejadian itu, namun diketahui sejumlah mahasiwa terkena lemparan batu.Rektor Unhas, Prof DR Idrus Paturussi, bersama Kepala Polisi Sektor Makassar, Komisaris Polisi Amiruddin, berhasil merelai pertikaian antara dua fakultas itu setelah mengambil inisiatif untuk turun ke lokasi bentrokan guna menenangkan mahasiswa.
        “Kejadian ini sangat disesalkan dan memalukan bagi mahasiswa serta merusak citra kampus. Ini penyakit mahasiswa yang selalu muncul dan tak pernah selesai. Saya menduga ada otak dan aktor intelektual bermain di balik tawuran ini,” kata Idrus. Ia mengakui, setiap bulan September terjadi tawuran, karena tahun lalu kejadian sama terjadi pula di Kampus Almamater Merah ini. Mahasiswa, kata Idrus, seharusnya mengambil pengalaman pada tahun sebelumnya. “Bulan seperti ini sangat rawan tawuran. Dan kita melihat kasus lama pembakaran kampus juga terjadi pada bulan sama tahun lalu. Kadang-kadang situasi ini dimanfaatkan oleh oknum yang tidak bertanggungjawab,” ujarnya.Menurut Rektor, untuk mengantisipasi insiden lanjutan, pihaknya meminta kepada aparat untuk menangkap para pelaku mahasiswa yang diduga melakukan provokasi. Ia menegaskan agar pelaku tawuran tidak diberi ampun. Mahasiswa yang terlibat akan dipecat secara tidak terhormat. “Dari laporan, pelaku tawuran diketahui sebanyak 40 orang, dan akan ditangkap semuanya. Kita akan pecat bila terbukti bersalah. Untuk apa dipertahankan kalau merusak,” tegasnya.
        Belum diketahui motif aksi saling serang antara dua fakultas itu. Namun kuat dugaan bentrokan karena dendam lama dua fakultas yang diketahui sebelumnya bermusuhan ini. Tawuran kerap terjadi setiap penerimaan mahasiswa baru. Kapolres Makassar, Kompol Amiruddin, menegaskan akan melakukan penyelidikan dan mengusut tuntas kasus tersebut, dan menangkap aktor di balik bentrokan itu.

Contoh Kasus Sosial Dasar di Masyarakat Pedesaan


Tradisi Bersih Desa dalam Kehidupan Masyarakat Jawa


        Sebagian orang Jawa, khususnya Jawa Tengah bagian selatan, yaitu Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya sampai sekarang masih melaksanakan adat kebiasaan yang dinamakan Bersih Desa. Ada pula yang menamakan Mejemukan.
Tradisi Bersih Desa ini dilaksanakan satu kali dalam setahun, yaitu pada waktu penduduk tani selesai melaksanakan panen padi raya secara serentak. Bersih Desa atau Mejemukan oleh paa penduduk tani dimaksudkan untuk mengungkapkan rasa terima kasih kepada Dewi Sri (Dewi Padi) sebagai penjaga keamanan para tani, sehingga mereka berhasil panen padi yang telah ditanamnya, disamping itu sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah mengabulkan panan hasil tanaman padi tersebut.

Kegiatan dalam rangka Bersih Desa
Dalam acara adat Bersih Desa para tani mengadakan beberapa kegiatan:
  1. Mengadakan penyimpanan padi secara rapi ke dalam suatu tempat yang aman, yang dinamakan lumbung padi. Lumbung tersebut selain diisi padi hasil panen, juga beberapa perlengkapan sesaji yang ditaruh di atas tumpukan padi di daam lumbung tersebut. Alat perlengkapan sesaji tersebut antara lain air putih dalam kendi yang terbuat dari tanah, ini mempunyai maksud selain untuk memberikan minuman kepada Dewi Sri pada suatu saat jika berkunjung, juga berarti membersihkan/keweningan agar seseorang berbuat bersih; daun keluwih, mengandung maksud biar petani tersebut setiap panen padi diberi kelebihan (luwih); daun sirih dimaksudkan untuk menyirih jika Dewi Sri berkunjung; dupa atau kemenyan, sebagai perlengkapan sesaji. Dengan sesajian tersebut para petani bermaksud selain menghargai dan menghormati Dewi Sri juga agar Dewi Sri (Dewi Padi) ini dalam menjaga keselamatan para petani terutama dalam pelaksanaan menanam padi, merawat dan memanen padi dapat berhasil dengan baik.
  2. Kegiatan pembersihan. Biasanya dilakukan dengan membersihkan kuburan, halaman, masjid, jalan-jalan atau gang-gang yang jarang dilewati orang. Hal ini dimaksudkan agar keadaan kampung atau desa nampak bersih. Kegiatan pembersihan ini dilakukan secara bersama-sama dengan gotongroyong/kerja bakti.
  3. Mengadakan acara masak-memasak dan saling kunjung mengunjungi. Dalam acara ini dilaksanakan apa yang disebut “Munjung” (pemberian dari yang muda ke yang tua) dan “Weweh” yang (diberikan oleh yang tua kepada yang muda), atau kepada kerabat dan kenalan dekat dengan dasar kasih sayang.
  4. Mengadakan kenduri bersama oleh seluruh warga desa, yang biasanya diadakan bersama-sama di suatu halaman masjid atau halaman/lapangan yang luas tertentu. Para penduduk membawa perlengkapan kenduri masing-masing berupa nasi dan lauk yang ditempatkan pada baskom atau penampan. Selanjutnya diadakan doa bersama yang dipimpin oleh seorang yang disebut “Modin”. Dalam acara ini diadakan pemberian nasi kepada fakir miskin dan para peminta-minta.
  5. Mengadakan hiburan. Ini adalah puncak acara Bersih Desa/Mejemukan, biasanya dilaksanakan malam hari, antara lain mengadakan pergelaran wayang kulit, ketoprak dan uyon-uyon. Semua ini untuk memberikan hiburan pada masyarakat agar para penduduk gembira setelah kerja membanting tulang di sawah. Ini juga sebagai tanda telah menikmati keberhasilan para tani dalam menggarap sawah.
Makna Bersih Desa
        Dengan mengamati berbagai kegiatan yang ada pada acara adat Bersih Desa/Majemukan tersebut kiranya dapat kita ambil maknanya:
  • Adanya rasa takwa dan hormat terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Ini dapat dilihat adanya kegiatan doa bersama dalam kenduri yang dilakukan di halaman masjid atau lapangan secara bersama dan juga adanya sesaji yang dimanifestasikan Dewi Sri sebagai dewa penolong terhadap keberhasilan para petani.
  • Adanya perilaku rasa penghormatan terhadap orang yang lebih tua atau yang lebih dulu ada. Ini memberikan suatu tauladan bahwa yang muda sudah sewajarnya memberi hormat kepada yang lebih tua. Bagaimanapun orang yang lebih tua itu sebagai panutan.
  • Adanya rasa kebersamaan persatuan, gotong-royong berarti menghilangkan individualisme dan egoistis. Ini dapat kita lihat dalam kerja sama dalam melaksanakan keberhasilan kenduri bersama.
  • Adanya sikap perilaku kemanusiaan ini bisa kita lihat dengan cara membagi sedekah/makanan kepada fakir miskin/peminta-minta waktu kenduri bersama.
  • Mengajarkan tentang kesehatan, kebersihan dan keindahan yang bisa kita lihat adanya pelaksanaan kebersihan kuburan, jalan-jalan sepi dan lain-lain, sehingga akan membuat keindahan di samping kesehatan.
  • Mengajarkan tentang kehidupan yang teratur, penghematan dan pemanfaatan. Penyimpangan hasil panen padi ke dalam lumbung dengan maksud agar para petani tidak mengalami kekurangan, sehingga akan tercapai pengaturan ekonomi yang baik.
        Dengan adat Bersih Desa/Mejemukan yang merupakan warisan adat istiadat sebagian bangsa Indonesia ini seyogyanya dipertahankan dan dilestarikan agar jangan musnah. Hal ini perlu diketahui oleh generasi muda sebagai generasi penerus bangsa yang perlu menjiwai nilai-nilai luhur bangsa yang berdasar Pancasila.
        Jika kita lihat kenyataan dalam perkembangan zaman teknologi yang berpangkal pada kehidupan modern, maka adat istiadat bangsa Indonesia ini akan menghadapi tantangan berupa pergeseran nilai. Tidak mustahil pergeseran nilai dapat mendangkalkan adat istiadat leluhur, terlebih pada generasi muda yang masih belum kuat dan belum mampu mengantisipasi kedatangan budaya asing yang serba modern yang mendasarkan pada kemampuan teknologi dan melupakan sumber nilai-nilai luhur yang mengakar pada adat istiadat kebudayaan bangsa kita. Kalau pergeseran nilai dibiarkan berlarut-larut, maka tidak mustahil adat Bersih Desa atau Mejemukan akan dilupakan dan bahkan tidak dikenal oleh generasi muda dan akhirnya akan hilang sama sekali. Kalau hal itu terjadi sangat disayangkan.

Sumber:
Tim Koordinasi Siaran Direktorat Jenderal Kebudayaan. 1993. Aneka Ragam Khasanah Budaya Nusantara V. Jakarta: Depdikbud. 

Contoh Kasus Sosial Dasar di Bidang Pendidikan

WARGA TUTUP PAKSA 2 SEKOLAH KARENA SENGKETA LAHAN 


 Kasus pendidikan di Kecamatan Donomulyo, Kabupaten Malang ini menarik. Seorang warga setempat tiba-tiba menyegel dan menutup paksa dua sekolah (SD dan SMP di sana), karena mengaku tanah dua tempat sekolah itu miliknya.
Tindakan warga bernama Suparno ini sempat membuat 200 siswa di dua sekolah itu merasa waswas Mereka terancam terlantar. Dua sekolah itu adalah SDN Kedungsalam 02 dan SMP PGRI Kedungsalam, Donomulyo.
Aksi penyegalan ini dengan membuat pagar dari kayu bambu yang ditancapkan di depan pintu SMP PGRI Kedungsalam. Sedangkan di SDN Kedungsalam hanya menempeli tulisan ”Tanah Milik Krijomejo, Dirampas” serta mengunci pintu masuk.
Proses belajar mengajar sempat terhambat, karena siswa di dua sekolah tersebut tidak bisa masuk. Baru sekitar pukul 11.00, setelah melalui proses negosiasi, Suparno akhirnya mengalah dan mencabut patok dan membuka kunci pagar. ”Saya sungkan dengan Pak Kades, beliau masih tetangga sendiri. Jadi langsung saya buka pagarnya pukul 11.00,” kata Suparno ditemui di rumahnya yang berjarak sekitar 100 meter dari sekolah tersebut.
       Versi Suparno, aksi yang dilakukan itu klimaks kekecewaannya kepada pihak sekolah. Sebab, dirinya memiliki bukti kuat bahwa lahan seluas 1.800 meter persegi itu milik ayahnya, almarhum Krijomejo. Namun, di atas lahan tersebut didirikan dua sekolah. SDN Kedungsalam 02 dan SMP PGRI didirikan tahun 1970. Saat ini total dua sekolah tersebut memiliki 200 siswa. Sebanyak 100 siswa di SDN Kedungsalam 02 dan sisanya siswa SMP PGRI.
Suparno menjelaskan, lahan milik ayahnya tersebut pada 1968 dirampas pemerintah. Tanah itu akan digunakan untuk kepentingan TNI Angkatan Darat. Tapi belakangan ternyata tidak jadi digunakan TNI, justru digunakan untuk bangunan dua sekolah tersebut. ”Kami punya bukti kepemilikan tanah tersebut secara sah,” tegas dia. Bukti yang dimaksud adalah surat pemeritahuan PBB atas nama ayahnya serta surat ketetapan pembayaran iuran daerah yang dikeluarkan pada 1976. Bahkan, lanjutnya, tiap tahun keluarganya mengeluarkan Rp 80 ribu untuk membayar PPB lahan tersebut. Ini sudah berlangsung selama 44 tahun. ”Uang untuk bayar PPB ini dari pribadi kami. Pihak sekolah sama sekali tidak membantu,” terang dia.
Suparno juga mengatakan, dirinya sudah menagih ke sekolah sejak 3,5 tahun yang lalu. Tapi hanya diberikan janji. Sehingga dia nekat mematoki sekolah tersebut. ”Wali murid banyak yang mendukung. Karena ini memang hak kami,” tambahnya.
Ditambahkan, pada Senin (8/10) malam lalu pihaknya juga telah musyawarah dengan pihak desa, polsek, kecamatan dan sekolah. Dalam pertemuan itu, dia menuntut pelepasan lahan serta ganti untung senilai Rp 1 miliar. ”Mereka sudah berkomitmen. Kalau janji mereka tidak ditepati lagi, terpaksa akan menyegel lagi. Kami kasih waktu empat hari mulai hari ini (kemarin),” ancam Suparno.
Sementara itu, pihak SDN Kedungsalam 02 tidak bisa berbuat banyak. Tapi hanya bisa berharap agar semua pihak mengedepankan nasib pendidikan siswa. ”Kami hanya menjalankan tugas mengajar. Jadi, kalau masalah sengketa lahan itu urusan pemerintah dan ahli waris. Tapi kami berharap anak-anak tetap bisa belajar dan hukum tetap berjalan seperti semestinya,” kata Bambang Yuda, wakasek SDN Kedungsalam 02 saat ditemui Radar Malang, kemarin.
      Terpisah, Dinas Pendidikan (Diknas) Kabupaten Malang juga mengatakan hal senada. Karena pada dasarnya, diknas dan sekolah hanya menjalankan pembelajaran. Tapi kalau masalah sengketa lahan itu urusanya pemerintah kabupaten dan ahli waris. ”Kami juga tidak bisa berbuat banyak. Karena tugas kami hanya memakai dan menjalankan pembelajaran di sekolah yang dimiliki pemkab,” kata Bambang Setiyono, kabid TK dan SD Diknas Kabupaten Malang.
Namun, lanjutnya, berdasarkan informasi dari UPTD setempat, pembelajaran di sekolah kemarin tidak ada masalah. Untuk masalah sengketa lahan sudah dibicarakan antara camat, pihak sekolah dan ahli waris. ”Kami juga berharap agar pembelajaran di sekolah tidak terganggu. Tapi proses hukum biar berjalan sesuai dengan aturanya,” tandas dia.
Dalam waktu dekat, dia juga akan berkoordinasi dengan UPTD untuk membicarakan masalah ini. Mengingat waktu yang diberikan oleh ahli waris hanya empat hari. ”Gimana baiknya, nanti harus dicarikan solusinya,” tandas dia.
      Sementara itu, Vera Malikei, notaris di Kabupaten Malang mengatakan, bukti pembayaran PPB (pajak bumi dan bangunan) belum bisa dijadikan bukti kepemilikan tanah. Meskipun pemiliknya terus membayar PBB ketika jatuh tempo. ”Yang diakui pemerintah hanya sertifikat,” kata Vera kepada Radar kemarin.
Tak hanya itu, lanjutnya, surat petok juga tidak bisa dijadikan bukti kepemilikan tanah sah. Karena yang secara sah ditetapkan oleh negara adalah sertifikat. ”Petok ini digunakan pada zaman Belanda. Kalau ingin diakui secara sah atas kepemilikan tanah, ya harus mengurus sertifikat tersebut,” ucap dia.